Pengikut

Bank Pembangunan Asia (ADB) mengatakan peningkatan arus modal pada pasar obligasi lokal di beberapa negara berkembang Asia Timur dapat mendorong risiko terjadinya gelembung (bubble), walaupun hal tersebut menunjukkan adanya minat investor terhadap kawasan ini. “Kawasan ini lebih tangguh dibandingkan dulu, namun pemerintah harus berhati-hati terhadap pembalikan arus modal yang dapat menyebabkan bubble, apabila perekonomian di AS dan Eropa mulai membaik,” ujar Ekonom Senior ADB untuk Integrasi Ekonomi Regional, Thiam Hee Ng, dalam keterangan pers tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (18/3) malam.

Sejak 1990, investor swasta telah menanamkan modal di kawasan Asia Timur karena suku bunga rendah dan pertumbuhan ekonomi yang melambat di negara maju. Kondisi tersebut makin meningkat hingga akhir tahun lalu. Kawasan negara berkembang di Asia Timur dalam laporan ini mencakup Indonesia, China, Hong Kong, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. ADB mencatat pada akhir 2012, pasar obligasi di negara Asia Timur mencakup dana senilai 6,5 triliun dolar AS atau lebih tinggi bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2011 yang hanya tercatat 5,7 triliun dolar AS. Situasi tersebut menunjukkan adanya peningkatan sebesar 12,1%. Hal yang sama terlihat dari pasar obligasi korporasi yang mengalami peningkatan hingga 18,6% atau sebesar 2,3 triliun dolar AS. Thiam mencontohkan kondisi di pasar obligasi Indonesia, di mana kepemilikan obligasi pemerintah sebesar 33% dikuasai investor luar negeri hingga akhir 2012. Bandingkan dengan kepemilikan asing atas obligasi pemerintah Malaysia yang mencapai 28,5% pada akhir September 2012. “Pasar obligasi lokal Indonesia meningkat pada triwulan IV 2012 sebesar 9,7% bila dibandingkan dengan kondisi tahun lalu atau meningkat 3,3% dibandingkan akhir September 2012,” ujarnya. Sedangkan obligasi korporasi Indonesia meningkat hingga 19 miliar dolar AS dan obligasi pemerintah mencapai 92 miliar dolar AS. Pasar obligasi pemerintah tumbuh 6,6% year on year karena penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (SPN), treasury bill dan Surat Utang Negara (SUN). Penerbitan obligasi korporasi bahkan meningkat lebih tinggi 27,6%.[] (metrotvnews.com)

Read More......

NU dan Muhammadiyah Tolak RUU Ormas

Dua organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menolak pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang Ormas. Sebab, RUU itu dianggap telah keluar dari tujuan awal naskah akademiknya. Ketua PBNU Imam Aziz di Sleman, Senin (25/3), mengatakan RUU itu awalnya dibuat untuk menghormati hak asasi manusia dalam kebebasan berserikat dan berorganisasi. “Tapi kemudian tersesat ke lembah belantara yang ruwet, terjerembab kepada pengaturan yang tidak jelas di mana definisi mengenai ormas terlalu luas dan banyak kerancuan,” kata Aziz.

Dia menegaskan, NU sudah menolak terhadap RUU tersebut. “Bahasa halusnya menunda, namun intinya sama, kita juga menolak,” terang Imam Aziz. Di beberapa pasal, lanjut Imam, ada berbagai kerancuan yang luar biasa dan menjebak. Seperti pada pasal pelarangan. Dalam RUU Ormas yang lagi dibahas, ormas dilarang melakukan pelecehan atau penistaan terhadap agama. “Sebuah organisasi yang seharusnya dilindungi tapi bisa ditolak karena adanya pasal penistaan tadi. Itu akan membuat kerancuan luar biasa dan menjebak,” jelasnya. Anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah Zuly Qodir juga menyayangkan RUU Ormas yang sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Menurutnya, RUU Ormas malah akan menjadi undang-undang yang membelenggu kebebasan berorganisasi. “Dalam RUU ini, semua harus memakai izin, harus berkumpul juga berizin. Masak mau berkumpul dan ngaji di kampung harus minta izin,” kata Zuly Qodir dan mendukung penuh penolakan RUU Ormas. Ormas, lanjut Zuly sangat setuju ada aturan yang mengatur keberadaan ormas. Namun aturan tersebut jangan sampai menindas ormas, terlebih ormas yang sudah ada seperti NU dan Muhammadiyah. Peneliti yang juga sosiolog dari UGM Ari Sujito mengatakan, arahan dari RUU Ormas sangat birokratis. Dan menduga RUU ini sangat tergesa-gesa masuk ke prolegnas. Sehingga ia menegaskan RUU tersebut harus ditolak. “Karena kalau ditetapkan, masyarakat sipil tidak punya ruang gerak dalam berorganisasi dan berserikat, sehingga harus ditolak,” kata Ari. (metrotvnews.com, 25/3)

Read More......

REFLEKSI AKHIR TAHUN 2012 HTI : 1. Kekayaan Alam Dijarah Asing

ahun 2012 segera akan berlalu. Banyak peristiwa telah terjadi. Terhadap 10 (sepuluh) peristiwa atau topik penting baik menyangkut ekonomi, politik maupun sosial budaya di sepanjang tahun 2012, Hizbut Tahrir Indonesia memberikan catatan. 1. KEKAYAAN ALAM DIJARAH ASING Sejak diundangkannya UU Migas Nomer 22 Tahun 2001, liberalisasi migas di Indonesia berjalan kokoh. Sejak saat itu, hampir tiap tahun publik disuguhi dengan berbagai informasi kisruh mengenai pengelolaan migas di negeri ini. Menurut BP Migas ada 29 blok dari 72 Minyak dan Gas (Migas) di tanah air yang akan habis masa kontrak hingga 2021 mendatang. Diantaranya, Blok Siak (Riau) dengan operator Chevron Pacific Indonesia yang akan habis tahun 2013; Blok Offshore Mahakam (Kalimantan Timur) dengan operator Total E&P Indonesia (2017), Blok Sanga-sanga (Kaltim) dengan kontraktor VICO dan Blok Southeast Sumatera yang dikelola CNOOC (2018). Di Blok Bula (Maluku) dengan operator Kalrez (2019), Blok South Jambi B yang dikelola Conoco Phillips (2020), dan Blok Muriah (Jawa Tengah) yang dikelola Petronas ( 2021).

Kebijakan pemerintah selama ini selalu berpihak kepada perusahaan swasta baik lokal maupun asing, sehingga banyak menimbulkan reaksi dari masyarakat. Pada tahun 2012 ini ada 3 kasus yang menjadi perhatian publik akibat kebijakan pemerintah yang pro asing tersebut, diantaranya Kasus Blok Siak di Riau yang akhirnya diminta dikelola oleh BUMD, kasus Blok Tangguh di Papua yang ditukar dengan “Gelar Kstaria Salib” dan yang paling heboh kasus Blok Mahakam sampai menimbulkan ancaman “disintegrasi” dari masyarakat Kalimantan Timur untuk memisahkan diri dari Indonesia jika Blok Mahakam tetap diberikan kepada Asing. Potensi Pendapatan Blok Siak Siak Block terdiri dari dua lapangan utama, yaitu Lindai Field dan sebagian Batang Field. Produksi Lindai Field sekitar 1.300 barrel of oil per day (bopd) dengan peluang peningkatan melalui penambahan sumur sisipan dan aplikasi teknologi waterflood. Sedangkan Batang Field yang 65 persen dalam konsesi Siak Block, memproduksi sekitar 1.200 bopd minyak kental/berat, dan dapat ditingkatkan dengan teknologi pemanasan minyak di dalam reservoir, penambahan jumlah sumur, dan merapatkan spacing (jarak pengurasan antar sumur). Jika dirata-ratakan, produksi Siak Block sekitar 2 ribu bopd. Dibanding Blok Langgak dengan produksi sekitar 600 bopd, Siak Block adalah ladang tua yang masih menawan di mata investor. Walaupun produksinya tidak besar, Siak Block tetap menjanjikan pendapatan bagus untuk Riau. Dengan asumsi produksi rata-rata 2.000 bopd, maka merujuk metode penghitungan Rafiq Imtihan (2010), Riau berpeluang meraih keuntungan sekitar US$ 4,06 juta dari Siak Block atau sekitar Rp. 37,5 miliar per tahun dengan asumsi US$ 1=Rp. 9.250. Potensi dan Produksi Blok Mahakam Blok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia. Berdasarkan data yang pernah dilansir oleh BP Migas, saat ini rata-rata produksinya sekitar 2.000 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau sekitar 344.000 barel oil equivalen (boe) per hari. Cadangan yang terkandung di blok ini sekitar 27 trilliun cubic feet (tcf). Dari 1970 hingga 2011, sekitar 50 persen (13,5 tcf) cadangan telah dieksploitasi, menghasilkan pendapatan kotor sekitar US$ 100 miliar. Produksi harian dari blok ini mencapai 2,5 bcf (billiun cubic feet) per hari. Sebanyak 80 persen kebutuhan kilang LNG Bontang berasal dari blok ini. Sebagian besar dari LNG tersebut kemudian diekspor ke Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Selain itu, blok ini juga memproduksi 92 ribu barel minyak dan kondensat pada tahun 2011 (platt.com). Cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf, dengan harga gas yang terus naik. Jika diasumsikan rata-rata harganya US$ 15/MMBtu, maka dari cadangan ini berpotensi menghasilkan pendapatan kotor lebih dari US$ 187 miliar (12,5 x 1012 x 1000 Btu x $15/106 Btu) atau sekitar Rp 1.700 trilyun. Potensi dan Produksi Blok Tangguh Blok Tangguh merupakan ladang gas terbesar di dunia. Menurut hasil sertifikasi DeGolyer and MacNaughton pada tahun 1998, potensi Blok Tangguh menunjukkan angka sebesar 14,4 triliun kaki kubik (tcf) sebagai cadangan gas terbukti. Sumberdaya gas Tangguh tersimpan pada tiga blok gas yang akan dieksploitasi sesuai KKS, yakni Wiriagar, Berau dan Muturi. Ketiga blok gas tersebut berlokasi di Teluk Bintuni, Papua Barat. Gas diproduksi dari 2 anjungan lepas pantai tak berawak, disalurkan melalui pipa sepanjang 22 km ke dua kilang pencair gas, yang masing-masing mempunyai kapasitas 3,8 juta ton gas per tahun. Seluruh kontraktor proyek gas Tangguh adalah perusahaan asing yang terdiri dari BP (nilai saham 37,16 persen), CNOOC (16,99 persen), Mitsubishi & Inpex Berau BV (16,3), Nippon Oil Exploration Ltd (12,23 persen), KG Berau/KG Wiriangar (10 persen) dan LNG Japan (7,3 persen). Berdasarkan kontrak dengan para pembeli gas potensial, kilang Tangguh pertama kali direncanakan berkapasitas 7,6 juta ton per tahun, yang akan diekspor terutama ke AS, Jepang dan Korea. Distribusi produksi gas 7,6 juta ton per tahun ini masing-masing adalah 3,7 juta ton ke Sempra, California, AS (selama 20 tahun), 0,55 juta ton ke K-Power, Korea (20 tahun), 0,55 juta ton ke Posco, Korea (20 tahun) dan 2,6 juta ton ke JCC Fujian, China (25 tahun). Potensi gas dari blok tangguh yang sebesar 14,4 tcf itu dapat menghasilkan ribuan trilyun rupiah, dengan asumsi harga rata-rata minyak selama 20 tahun ekplorasi adalah US$ 80/barel, cost recovery sebesar 35persen, 1 boe = 5.487 cf dan nilai kurs US$/Rp adalah 10.200, maka dari simulasi perhitungan yang dilakukan diperoleh potensi pendapatan total gas Tangguh adalah sekitar US$ 210 miliar atau sekitar Rp 2.142 triliun (Marwan batu bara, www. eramuslim .com). Pengelolaan Migas Pro Kapitalis Global. Pemberian izin kepada perusahaan swasta baik lokal maupun asing atas tambang yang baru atau perpanjangan kontrak bagi yang sudah berjalan seperti kasus Blok Mahakam, Blok Tangguh yang diberikan kepada British Petrolem, tambang emas di Irian Jaya yang diberikan kepada PT Freeport Amerika Serikat dan ribuan kontrak karya lainnya, selalu bermuara pada dua alasan klasik yang dikemukakan Pemerintah: ketidakmampuan Pertamina dan BUMN lainnya dari sisi teknologi dan ketidakmampuan dari sisi permodalan. Benarkah? Masalah teknologi dan permodalan sering menjadi alasan klasik Pemerintah untuk menyerahkan ekplorasi migas ke pihak asing. Persoalan yang pertama, yaitu teknologi ekplorasi minyak dan gas serta minerba, sebenarnya bukan masalah utama. Pertamina dan BUMN lainnya sudah mampu melakukan ekplorasi migas dan minerba baik onshore (darat), offshare (lepas pantai) maupun laut dalam (deep water). On share adalah bentuk eksplorasi di darat. Pertamina dengan tenaga-tenaga ahlinya dari dalam negeri sudah mampu mendeteksi dan mengekplorasinya tanpa hambatan. Penemuan cadangan minyak di Blok Cepu adalah tenaga ahli dari Pertamina. Pertamina pun menyatakan mampu secara teknologi untuk mengekplorasinya tanpa bantuan asing. Adapun offshore adalah bentuk ekplorasi migas di wilayah laut baik lepas pantai laut dangkal maupun laut dalam atau deep water. Dalam hal eksplorasi migas dalam bentuk offfshore selama ini Pertamina sering diragukan kemampuannya bahkan dianggap tidak mampu baik dari sisi teknologi maupun permodalan. Terbukti Pertamina mampu mengeksplorasi Blok West Madura bahkan hasilnya meningkat dibandingkan BP. Aspek permodalan, seandainya pemerintah atau Pertamina tidak memiliki dana, sebenarnya banyak lembaga keuangan atau perbankan yang bisa menjamin kucuran kredit jika Pertamina memiliki underlying asset (jaminan). Apalagi jika hal ini didukung oleh jaminan pemerintah melalui pemilikan cadangan nasional migas oleh Pertamina sebagai BUMN seperti halnya negara lain, misalnya Venezuela atau Malaysia melalui Petronasnya. Di tengah hujatan dan keprihatian atas kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan sumber daya alam khususnya migas, Mahkamah Konsistusi memberikan angin segar dengan mengabulkan gugatan ormas Islam dan beberapa tokoh terhadap keberadaan UU Migas dan BP Migas. Dampak dari pembatalan terhadap beberapa pasal yang ada dalam UU Migas ini dan menjadi sandaran keberadaan BP Migas seperti Pasal 1 angka 23 dan pasal lainnya adalah pembubaran BP Migas. Sebagian kalangan menganggap pembubaran BP Migas bisa mengembalikan kedaulatan negara atas migas, benarkah ? Esensi liberalisasi migas sebenarnya bukan pada keberadaan lembaga seperti BP Migas.. Esensi liberalisasi terletak pada Pasal 9 ayat 1 dimana pada pasal tersebut dinyatakan bahwa Usaha Hulu dan Hilir Migas “dapat dilaksanakan oleh: Badan Usaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta.” Kata “dapat” pada pasal 9 ayat 1 inilah yang menyebabkan posisi BUMN disama dudukkan dengan BUMS (Badan Usaha Milik Swasta). Dengan penyamaan kedudukan itu, membuat BUMN kehilangan keistimewaan dalam pengelolaan Migas yang semestinya memang diberikan oleh konstitusi sebagai tangan negara dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selanjutnya bila BUMN Migas hendak mengelola sebuah blok migas, maka ia harus ikut tender bersama BUMS lain. Hasilnya memang luar biasa. Hampir 90 persen sumber minyak kita dikuasai oleh swsata baik lokal maupun asing, bahkan untuk anggaran tahun ini menurut Menteri BUMN, Dahlan Iskan, kontraktor asing masih mendominasi 75persen proyek migas di tanah air. Meski BP Migas bubar tapi kalau pasal 9 ini tetap ada, maka liberalisasi migas masih tetap eksis. Percuma BP Migas dibubarkan tapi semangat liberalisasi masih ada, ketika BP Migas ini dibubarkan kemudian dibentuk badan misalnya dibawah Kementerian ESDM, kalau mindset Departemen ESDM sangat liberal seperti saat ini tidak ada jaminan ekplorasi migas bisa jatuh ke Pertamina, karena dalam pasl 9 tadi. Teknologi dan modal sebenarnya bukan masalah utama. Apalagi Pertamina sebagai satu-satunya BUMN di bidang migas memiliki kemampuan yang tak kalah hebatnya dibandingkan perusahaan asing. Masalah utamanya adalah political will pemerintah yang tidak pro rakyat alias lebih pro kapitalis global. Ini terbukti dalam beberapa kasus seperti tambang migas Blok Cepu atau tambang emas Freeport dan Newmont. Dalam kasus Blok Cepu dan Freeport, misalnya, karena tekanan pemerintah AS dengan begitu mudahnya Blok Cepu diserahkan kepada Exxon Mobile, sedangkan tambang emas di Irian Jaya terus dibiarkan dikuasai Freeport. Akibatnya, kekayaan di negara ini tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan secara optimal oleh rakyatnya. Di bidang pengelolaan migas saat ini ada 60 kontraktor migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok. Pertama: Super Major, terdiri ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen. Kedua: Major, terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen. Ketiga: perusahaan independen; menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen. Dalam kasus PT Freeport Indonesia, dari tambang di Papua tersebut Indonesia seharusnya mendapatkan keuntungan Rp 50–100 triliun pertahun andai pengelolaan tambang itu dikelola oleh negara bukan swasta. Sebagian besar tambang nikel juga dinikmati oleh perusahaan Jepang karena hampir 53 persen kebutuhan industri nikel Jepang dipasok dari hasil tambang nikel Indonesia. PoIitical will yang tidak pro rakyat atau yang tidak sesuai dengan syariah ini muncul dari pola pikir atau mindset pemerintah yang liberal dan kapitalistik yang didukung oleh DPR yang melahirkan UU dan regulasi yang liberal dan kapitalistik seperti UU Migas No. 22 Tahun 2001 dan UU Minerba no. 4 Tahun 2009. Dalam pandangan Islam, minyak bumi dan gas merupakan sumber daya alam yang melimpah sehingga masuk dalam kategori barang milik publik (al milkiyyah al-ammah) yang pengelolaannya harus diserahkan kepada negara secara profesional dan tentu bebas korupsi agar seluruh hasilnya dikembalikan kepada publik.

Read More......

Bila Shaum Menjadi Benteng Individu Kita, Dimana Khilafah yang Menjadi Benteng Umat ?

Suatu waktu Rasulullah SAW bersabda: “Shaum itu adalah benteng (junnah). Maka, orang yang sedang shaum hendaknya tidak berkata jorok dan tidak bertindak bodoh. Apabila ada pihak yang memeranginya atau mengejeknya, maka katakanlah kepadanya ‘Aku sedang berpuasa!’ (beliau mengulanginya dua kali)” (HR. Bukhari, Muslim). Ada hal amat menarik dalam hadits ini. Shaum disebut sebagai junnah atau benteng. Junnah artinya penjaga (wiqoyah) dan penutup (satrah) dari terjerumusnya seseorang kedalam kemaksiatan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka. Juga, junnah bermakna penjaga dari neraka karena menahan syahwat (al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar, Juz II, hal. 670).


Hal ini menegaskan bahwa shaum (puasa) merupakan benteng yang sifatnya individual. Shaum menjadi penawar terhadap nafsu dan syahwat pribadi dan berujung pada penjagaan kemaksiatan secara individual. Perkara tersebut menjadi lebih jelas ketika kita memperhatikan penuturan Abdullah bin Mas’ud. Dahulu kala, beliau berjalan bersama dengan Rasulullah SAW. Pada saat berjalan bersama-sama itu, Nabi bersabda: “Barangsiapa yang sudah mampu, hendaklah dia kawin (menikah) karena menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak sanggup (menikah) maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi benteng (wijaun) baginya” (HR. Bukhari). Hadits ini mengisyaratkan puasa sebagai benteng ‘nafsu dan syahwat individual’. Karenanya, dapat dipahami bahwa shaum memang merupakan benteng individual.

Bila shaum merupakan benteng individual maka hal-hal yang merusak masyarakat, tentu, tidak dapat dicegah dan dijaga oleh semata-mata shaum. Namanya juga individual hanya akan dapat menuntaskan perkara yang sifatnya juga individual. Karenanya dapat dipahami mengapa kristenisasi masih terjadi, aliran sesat terus dibiarkan, peredaran video mesum tak terbendung, harta kekayaan rakyat terus digasak pejabat dan dijual kepada asing, korupsi para pejabat tambah menggila, stigma Islam dengan terorisme tak berhenti, pemutar balikan Islam ala liberal makin dilegalisasi. Adalah kurang relevan bila untuk melindungi umat dari semua itu sekedar mengandalkan shaum yang sifatnya individual.

Islam memang agama paripurna. Allah SWT bukan hanya mensyariatkan shaum sebagai benteng individual, melainkan juga mensyariatkan kepemimpinan umat (imamah, khilafah) sebagai benteng masyarakat secara keseluruhan. Berkaitan dengan masalah ini, Junjungan kita Muhammad SAW bersabda: “Dan sesungguhnya imam adalah laksana benteng (junnah), dimana orang-orang akan berperang mengikutinya dan berlindung dengannya. Maka jika dia memerintah dengan berlandaskan taqwa kepada Allah dan keadilan, maka dia akan mendapatkan pahala. Namun jika dia berkata sebaliknya maka dia akan menanggung dosa” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari berbagai kitab hadits maupun syarahnya dapat dipahami bahwa istilah imam maksudnya sama dengan khilafah. Menurut Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhariy, imam disini maknanya pemerintah tertinggi yang mengurusi urusan umat. Dengan menjadi benteng, imam mencegah musuh menyakiti kaum Muslim dan mencegah masyarakat saling menyakiti satu sama lain (al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar, Juz III, hal. 1080). Sementara itu, meminjam penjelasan Imam as-Suyuthi, imam sebagai benteng berarti imam sebagai pelindung sehingga dapat mencegah musuh menyakiti kaum Muslim dan mencegah masyarakat saling menyakiti satu sama lain. Juga, memelihara kekayaan Islam. Kaum Muslim bersama dengan imam tersebut memerangi kaum kafir, pembangkang dan penentang kekuasaan Islam, dan semua pelaku kerusakan. Imam melindungi umat dari seluruh keburukan musuh, pelaku kerusakan, dan kezhaliman (ad-Dibaj Syarhu Shahih Muslim bin al-Hujaj, Juz IV, hal. 454; Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, Juz XII, hal. 230).

Kenyataan bahwa imam/khalifah sebagai benteng kaum Muslim ini dicatat dengan baik dalam sejarah Islam. Sekedar contoh, ketika Islam diterapkan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (rh), pendapatan Negara surplus hingga tak ada seorang pun yang berhak mendapatkan zakat. Rakyat betul-betul tersejahterakan. Dulu pernah ada tentara Romawi melecehkan perempuan dengan menarik jilbabnya, segeralah Khalifah Mu’tashim mengerahkan pasukan untuk melindungi keamanan dan kehormatan perempuan itu. Berbeda dengan itu, perempuan Islam sekarang nyawanya saja tidak dihargai. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penjajahan AS di Afghanistan telah membunuh 2 juta perempuan muslimah, sementara sebanyak 744.000 perempuan Muslim di Irak tewas. Saat Islam diterapkan, kehormatan perempuan dijaga dengan sebaik-baiknya.

Nyatalah, kita perlu dua benteng. Shaum sebagai benteng individual, dan yang tak kalah pentingnya adalah khalifah sebagai benteng umat Islam secara keseluruhan. Karenanya, benteng individual yang diraih pada bulan Ramadhan selayaknya dijadikan modal untuk mewujudkan kekhilafahan sebagai benteng umat Islam dalam kehidupan. Insya Allah.[MR Kurnia]

Read More......

Mengabdi Kepada Bank Dunia Sesuatu Yang Membanggakan?


Oleh : Hady Sutjipto,SE.M.Si

Kejahatan Bank Dunia


Mundurnya Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan andalan dalam Pemerintahan SBY, dan akan menempati jabatan baru sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia menimbulkan pro dan kontra. SBY memandang jabatan baru tersebut adalah posisi yang strategis, posisi yang penting, posisi yang terhormat. Harapan SBY, Sri Mulyani bisa memperkuat Bank Dunia dan bisa menjadi jembatan antara Bank Dunia dengan negara-negara berkembang, dengan Asia, termasuk Bank Dunia dengan Indonesia, negara yang besar dengan GDP yang makin meningkat, dengan besaran atau magnitude perekonomian yang makin menguat dan jumlah penduduk yang besar, yang tentunya akan menjadi mitra penting bagi Bank Dunia.


Hal serupa diungkapkan oleh Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick. Dalam keterangan resmi yang dipublikasikan Bank Dunia, Zoellick menegaskan bahwa Sri Mulyani telah menuntun kebijakan ekonomi membuat Indonesia menjadi salah satu negara terbesar di Asia Tenggara, bahkan salah satu negara terbesar di dunia. ” Sri Mulyani adalah Menteri Keuangan yang luar biasa dengan pengetahuan yang mendalam terutama tentang dua isu, pembangunan dan peran kelompok bank dunia,” kata Zoellick.

Menurut Zoellick, tuntunan kebijakan yang telah dibuat Sri Mulyani sukses membawa keluar Indonesia dari krisis. Sri Mulyani juga dinilai sukses menerapkan kunci reformasi dan mendapat penghormatan dari teman-temannya seluruh dunia.

Ketika Sri Mulyani menerima tawaran jabatan dari Bank Dunia, benarkah dari harapan bisa menjadi jembatan antara Bank Dunia dengan negara-negara berkembang, dengan Asia, termasuk Bank Dunia dengan Indonesia? Apakah Bank Dunia telah memberikan manfaat bagi negara-negara penerima bantuan?

Sejarah Bank Dunia

Bank Dunia adalah sebuah lembaga keuangan global yang secara struktural berada di bawah PBB dan diistilahkan sebagai “specialized agency”. Bank Dunia dibentuk tahun 1944 sebagai hasil dari Konferensi Bretton Woods yang berlangsung di AS. Konferensi itu diikuti oleh delegasi dari 44 negara, namun yang paling berperan dalam negosiasi pembentukan Bank Dunia adalah AS dan Inggris. Tujuan awal dari dibentuknya Bank Dunia adalah untuk mengatur keuangan dunia pasca PD II dan membantu negara-negara korban perang untuk membangun kembali perekonomiannya.

Sejak tahun 1960-an, pemberian pinjaman difokuskan kepada negara-negara non-Eropa untuk membiayai proyek-proyek yang bisa menghasilkan uang, supaya negara yang bersangkutan bisa membayar kembali hutangnya, misalnya proyek pembangunan pelabuhan, jalan tol, atau pembangkit listrik. Era 1968-1980, pinjaman Bank Dunia banyak dikucurkan kepada negara-negara Dunia Ketiga, dengan tujuan ideal untuk mengentaskan kemiskinan di negara-negara tersebut. Pada era itu, pinjaman negara-negara Dunia Ketiga kepada Bank Dunia meningkat 20% setiap tahunnya.

Peran Bank Dunia dalam Imperialisme Ekonomi dan Politik Global

Rittberger dan Zangl (2006: 172) menulis, sejak tahun 1970-an Bank Dunia mengubah konsentrasinya karena situasi semakin meningkatnya jurang perekonomian antara negara berkembang dan negara maju. Pada era itu, seiring dengan merdekanya negara-negara yang semula terjajah, jumlah negara berkembang semakin meningkat. Negara-negara berkembang menuntut distribusi kemakmuran (distribution of welfare) yang lebih merata dan negara-negara maju memenuhi tuntutan ini dengan cara menyuplai dana pembangunan di negara-negara berkembang.

Basis keuangan Bank Dunia adalah modal yang diinvestasikan oleh negara anggota bank ini yang berjumlah 186 negara. Lima pemegang saham terbesar di Bank Dunia adalah AS, Perancis, Jerman, Inggris, dan Jepang. Kelima negara itu berhak menempatkan masing-masing satu Direktur Eksekutif dan merekalah yang akan memilih Presiden Bank Dunia. Secara tradisi, Presiden Bank Dunia adalah orang AS karena AS adalah pemegang saham terbesar. Sementara itu, 181 negara lain diwakili oleh 19 Direktur Eksekutif (satu Direktur Eksekutif akan menjadi wakil dari beberapa negara).

Bank Dunia berperan besar dalam membangun kembali tatanan ekonomi liberal pasca Perang Dunia II (Rittberger dan Zangl, 2006: 41). Pembangunan kembali tatanan ekonomi liberal itu dipimpin oleh AS dengan rancangan utama mendirikan sebuah tatanan perdagangan dunia liberal. Untuk mencapai tujuan ini, perlu dibentuk tatanan moneter yang berlandaskan mata uang yang bebas untuk dikonversi. Rittberger dan Zangl (2006: 43) menulis, “Perjanjian Bretton Woods mewajibkan negara-negara untuk menjamin kebebasan mata uang mereka untuk dikonversi dan mempertahankan standar pertukaran yang stabil terhadap Dollar AS.”

Lembaga yang bertugas untuk menjaga kestabilan moneter itu adalah IMF (International Monetary Funds) dan IBRD (International Bank for Reconstruction dan Development). IBRD inilah yang kemudian sering disebut “Bank Dunia”. Pendirian Bank Dunia dan IMF tahun 1944 diikuti oleh pembentukan tatanan perdagangan dunia melalui lembaga bernama GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) pada tahun 1947. Pada tahun 1995, GATT berevolusi menjadi WTO (World Trade Organization).

Organisasi-organisasi ini mulai mendorong suatu model universal dalam pembangunan ekonomi global dan pertumbuhan melalui kredo neo-liberal, yang berfokus pada kepentingan pertumbuhan ekonomi. Namun, yang sebenarnya merupakan eksploitasi berbasis-paradigma pembangunan. Sebagai hasil, sistem ekonomi dunia menjadi tidak setara. Statistik menemukan bahwa kelompok negara-negara G8 (di dunia negara-negara terkaya) mewakili 85% dari GNP dunia dan menguasai 75% dari perdagangan dunia. Sementara itu, jumlah orang yang hidup di bawah standar $ 1/day kemiskinan terus meningkat di seluruh dunia.

Meskipun tugas Bank Dunia adalah mengatur kestabilan moneter, namun dalam prakteknya, Bank Dunia sangat mempengaruhi politik global karena hampir semua negara di dunia menjadi penerima utang dari Bank Dunia. Bank Dunia dan IMF memiskinkan negara-negara dunia ketiga melalui utang-utang yang diberikannya. Banyak negara seperti Argentina, negara-negara di Afrika dan juga termasuk Indonesia menanggung beban utang sampai pada level tak mampu melunasinya. Sehingga, negara-negara tersebut terpaksa membayar cicilan pokok dan bunga dengan mengambil utang baru. Kejadian tersebut terus terulang dan menyebabkan ketergantungan negara-negara miskin terhadap utang.

Sejak awal beroperasinya, Bank Dunia sudah mempengaruhi politik dalam negeri negara yang menjadi penghutangnya. Kebijakan yang diterapkan Bank Dunia yang mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi suatu negara, disebut SAP (Structural Adjustment Program). Bila negara-negara ingin meminta tambahan hutang, Bank Dunia memerintahkan agar negera penerima utangmelakukan “perubahan kebijakan” (yang diatur dalam SAP). Bila negara tersebut gagal menerapkan SAP, Bank Dunia akan memberi sanksi fiskal. Perubahan kebijakan yang diatur dalam SAP antara lain, program pasar bebas, privatisasi, dan deregulasi ( Dinasulaeman.wordpress.com/2009/12/30)

Karena adanya SAP ini, tak dapat dipungkiri, pengaruh Bank Dunia terhadap politik dan ekonomi dalam Negara Indonesia juga sangat besar. Utang dana segar bisa dicairkan bila Negara tersebut menerima Program Penyesuaian Struktural (SAP). SAP mensyaratkan pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan yang bentuknya, antara lain:

1. Swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan

2. Deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor

3. Pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, dan pupuk

4. Menaikkan tarif telepon dan pos

5. Menaikkan harga bahan bakar (BBM)

Besarnya jumlah utang (yang terus bertambah) membuat pemerintah juga harus terus mengalokasikan dana APBN untuk membayar utang dan bunganya. Sebagai illustrasi, utang luar negeri Republik Indonesia terus membumbung tinggi. Data Bank Indonesia (BI) mencatat, sampai akhir Januari 2010, utang luar negeri mencapai 174,041 miliar dollar AS. Bila dikonversi ke dalam mata uang Rupiah dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS nominal utang itu hampir mencapai Rp 2.000 triliun.

Nilai utang ini naik 17,55 persen dari periode yang sama tahun lalu. Akhir Januari 2009, nilai utang luar negeri Indonesia baru sebesar 151,457 miliar dollar AS. “Dari sisi nominal memang naik, namun jika kita melihat dari persentase debt to GDP ratio, angkanya terus menurun,” ungkap Senior Economic Analyst Investor Relations Unit (IRU) Direktorat Internasional BI Elsya Chani .

Nilai utang tersebut terdiri atas utang pemerintah sebesar 93,859 miliar dollar AS, lalu utang bank sebesar 8,984 miliar dollar AS. Lalu, utang swasta alias korporasi non-bank sebesar 75,199 miliar dollar AS. Sebagian besar utang tersebut bertenor di atas satu tahun. Nilai utang yang tenornya di bawah satu tahun hanya sebesar 25,589 miliar dollar AS.

Elsya menuturkan, meski secara nominal nilai utang luar negeri Republik Indonesia terus naik. Namun, nilai rasio utang terhadap GDP terus terjadi penurunan. “Debt to GDP ratio tahun 2009 sebesar 27 persen. Sedangkan tahun 2008 masih 28 persen,” jelasnya. (Kompas.com, 16/4/2010)

Pemerintah Indonesia di tahun ini berencana untuk membayar cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp 54,136 triliun pada APBN-P 2010. Demikian pula jumlah defisit dalam APBN-P 2010 dinaikkan dari semula 1,6% atau Rp 98,009 triliun menjadi 2,1% atau Rp 129,816 triliun. Kenaikan defisit ini rencananya akan ditutupi lewat pembiayaan non utang Rp 25,402 triliun dan pembiayaan utang Rp 108,344 triliun.

Pembiayaan non utang ini salah satunya akan berasal dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) di tahun 2009.Untuk pembiayaan dari utang, pemerintah berencana untuk menarik pinjaman luar negeri sebesar Rp 70,777 triliun. Kemudian dari penerbitan surat utang (SBN/Surat Berharga Negara) sebesar Rp 107,5 triliun (Detikfinance.com 3/5/2010).

Komposisi dalam anggaran belanja negara tersebut mencerminkan besarnya beban utang tidak saja menguras sumber-sumber pendapatan negara, tetapi juga mengorbankan kepentingan rakyat berupa pemotongan subsidi dan belanja daerah. Karena itu, meski Bank Dunia memiliki semboyan “working for a world free of poverty”, namun meski telah lebih dari 60 tahun beroperasi di Indonesia, angka kemiskinan masih tetap tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2009, ada 31,5 juta penduduk miskin di Indonesia.

Hal ini juga diungkapkan ekonom Rizal Ramli (2009), “Lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan sebagainya dalam memberikan pinjaman, biasanya memesan dan menuntut UU ataupun peraturan pemerintah negara yang menerima pinjaman, tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial. Misalnya, pinjaman sebesar 300 juta dolar AS dari ADB yang ditukar dengan UU Privatisasi BUMN, sejalan dengan kebijakan Neoliberal. UU Migas ditukar dengan pinjaman 400 juta dolar AS dari Bank Dunia.”

Cara kerja Bank Dunia (dan lembaga-lembaga donor lainnya) dalam menyeret Indonesia (dan negara-negara berkembang lain) ke dalam jebakan utang, diceritakan secara detil oleh John Perkins dalam bukunya, “Economic Hit Men”. Perkins adalah mantan konsultan keuangan yang bekerja pada perusahaan bernama Chas T. Main, yaitu perusahaan konsultan teknik. Perusahaan ini memberikan konsultasi pembangunan proyek-proyek insfrastruktur di negara-negara berkembang yang dananya berasal dari utang kepada Bank Dunia, IMF, dll.

Tak heran bila kemudian ekonom Joseph Stiglitz pada tahun 2002 mengkritik keras Bank Dunia dan menyebutnya “institusi yang tidak bekerja untuk orang miskin, lingkungan, atau bahkan stabilitas ekonomi”. Dengan demikian, menurut Stiglitz, Bank Dunia pada prakteknya menyalahi tujuan didirikannya bank tersebut, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, yaitu untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan menjaga kestabilan ekonomi.

(Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan Universitas Sultan AgengTirtayasa (UNTIRTA)-Serang Banten)

Daftar Pustaka

Ponny Anggoro, Why Does World Bank Control Indonesia, dimuat di jurnal Global Justice Update, Volume VI, 1st Edition, May 2008

Rizal Ramli, Membangun dengan Lilitan Utang, sebagaimana diberitakan dalam http://www.news.id.finroll.com/articles/75304-membangun-bangsa-dengan-lilitan-hutang

Volker Rittberger dan Bernard Zangl, 2006, International Organization, New York:Palgrave MacMillan.

http://www.detikfinance.com/read/2010/05/03/130022/1350027/4/ri-nyicil-pokok-utang-luar-negeri-rp-54136-triliun

http://en.wikipedia.org/wiki/World_Bank

http://dinasulaeman.wordpress.com/2009/12/30/peran-bank-dunia-dalam-kemunduran-perekonomian-indonesia/

http://www.democracynow.org/2004/11/9/confessions_of_an_economic_hit_man

http://www.un.org/

Read More......

Potret Gemilang Islam di Era Abbasiyah


Tak hanya terobosan dalam tata pemerintahan, pada masa Abbasiyah, tradisi keilmuan berkembang pula. Salah satu yang terlihat jelas adalah metode penulisan sejarah. Philip K Hitti dalam History of the Arabs menyatakan, pada masa Abbasiyah, metode penulisan sejarah telah matang untuk melahirkan karya sejarah formal.

Pada masa sebelumnya, penulisan sejarah dilakukan berdasarkan legenda dan anekdot pada masa pra-Islam. Pun, didasarkan pada tradisi keagamaan yang berkisar pada nama dan kehidupan Nabi. Namun, saat Dinasti Abbasiyah berkuasa, penulisan sejarah mengalami kemajuan. Penulisan dilekatkan pada legenda, tradisi, biografi, geneologi, dan narasi.


Sejarah juga diriwayatkan melalui penuturan para saksi atau orang yang sezaman dengan penulis. Ini dilakukan melalui sejumlah mata rantai para saksi sejarah. Metode ini dinilai telah menjamin keakuratan data bahkan hingga penanggalan kejadian, meliputi bulan dan hari kejadian.

Sejarawan formal pertama pada masa itu adalah Ibn Qutaybah yang bernama lengkap Muhammad ibn Muslim Al Dinawari. Ibn Qutaybah meninggal dunia di Baghdad pada 889 Masehi setelah menuntaskan penulisan bukunya, Kitab Al Maarif atau Buku Pengetahuan.

Sejarawan ternama lainnya yang sezaman dengannya adalah Abu Hanifah Ahmad ibn Dawud Al Dinawari. Ia tinggal di Isfahan. Karya utama Al Dinawari adalah Al Akhbar Al Thiwal (Cerita Panjang), yang merupakan sejarah dunia dari sudut pandang Persia. Di kemudian hari, muncul nama Abu Al Hasan Ali Al Mas’udi.

Di kalangan sejarawan Muslim, ia mendapat julukan Herodotus bangsa Arab. Sebab, Al Mas’udi dianggap sekelas dengan sejarawan Yunani, Herodotus yang hidup pada abad ke-5 Masehi. Al Mas’udi oleh para pemikir dianggap telah memprakarsai metode tematis dalam penulisan karya-karya sejarah.

Metode yang Al Mas’udi gunakan tidak seperti metode yang digunakan sejarawan ternama, Al Thabari, yang dalam menyusun karya sejarah berdasarkan tahun kejadian. Dalam menulis, ia mengelompokkan berbagai peristiwa sejarah berdasarkan dinasti, raja, serta masyarakatnya.

Metode tersebut kemudian diikuti oleh para ahli sejarah lain, seperti Ibn Khaldun. Al Mas’udi juga merupakan orang yang pertama kali menggunakan anekdot-anekdot sejarah. Ia berkelana mencari ilmu hingga ke Baghdad, Asia, dan Zanzibar. Pada dekade terakhir kehidupannya, Al Mas’udi berada di Suriah dan Mesir untuk menulis 30 jilid buku yang berjudul Muruj al Dzahab wa Ma’adin al Jawhar (Padang Emas dan Tambang Batu Mulia). Ini karya geografis bergaya ensiklopedia.

Pada bagian awal karyanya, Al Mas’udi mengatakan daerah-daerah yang tandus pada mulanya adalah lautan dan daerah yang sekarang lautan pada mulanya adalah daerah tandus. Menurut dia, hal tersebut terjadi karena kekuatan alam. Sedangkan dalam karyanya yang berjudul Al Tanbih wa Al Isyraf, Al Mas’udi mengungkapkan pemikirannya tentang filsafat sejarah dan alam. Ia juga mengutip sejumlah pendapat ahli filsafat pada masa itu. (republika.co.id, 7/4/2010)

Read More......

Tanpa Pajak, Negara Ambruk?


Oleh Arim Nasim

Makelar kasus yang melibatkan salah seorang pegawai Ditjen Pajak, Gayus Tambunan, menyulut gerakan boikot pajak terutama di dunia maya, dan ini dikhawatirkan bakal mengancam penerimaan negara dari pajak. Hal itu sebagaimana disampaikan Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Aziz, Jumat (26/3). Bahkan sebagian orang berpendapat bahwa pajak adalah darah kehidupan (life blood) negara. Pajak dibayar negara tegak; pajak diboikot negara ambruk. Benarkah tanpa pajak, negara akan ambruk? Bagaimana posisi pajak dalam sistem ekonomi Islam? Benarkah pajak mewujudkan keadilan?


Berbagai upaya dilakukan oleh Dirjen Pajak untuk meningkatkan pendapatan negara dari pajak baik melalui penyadaran penting pajak dalam pembangunan maupun melalui iklan di media yang terkenal dengan semboyannya “Apa Kata Dunia?” Hasilnya memang luar biasa, pendapatan negara dari pajak semakin meningkat dari tahun ke tahun, misalnya pada 1989 sumber pendapatan negara dari pajak masih sekitar 51 persen tetapi pada 2006 pendapatan negara dari pajak meningkat menjadi 75 persen, sisanya dari pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan pinjaman.

Namun ironisnya, ketika rakyat digenjot untuk membayar pajak, pada saat yang sama pemerintah semakin mudahnya mengobral kekayaan alam dan barang tambang dengan harga murah. Hal itu dilakukan melalui projek privatisasi dan swastanisasi, yaitu penyerahan pengelolaan SDA ke swasta khususnya asing melalui peningkatan investasi yang dilegalkan melalui UU seperti UU SDA, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Penanamaan Modal, dan lain-lain. Akhirnya terjadilah kondisi yang ironis. Rakyat dikejar-kejar dengan pajak, sementara kekayaan barang tambang dan SDA lain yang melimpah ruah justru dinikmati perusahaan asing. Oleh karena itu, sebenarnya naiknya sumber pendapatan negara dari pajak semakin menunjukkan kokohnya ekonomi neoliberal yang diterapkan oleh pemerintah.

Pada sisi pengeluaran negara, fungsi pajak yang secara teorinya memiliki fungsi regulasi atau distribusi dari orang kaya untuk orang miskin ternyata baru sebatas iklan karena kenyataannya setiap APBN yang dihasilkan selalu tidak prorakyat. Sebagai contoh, APBN 2010 dinilai masih pro terhadap birokrasi dan kapitalis, hal ini bisa dilihat dengan menurunnya anggaran subsidi dari Rp 166, 9 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 144,3 triliun (RAPBN 2010) sedangkan pengeluaran didominasi oleh peningkatan gaji dari Rp 133 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 161 triliun (RAPBN 2010) dan pembayaran bunga utang yang sangat tinggi Rp 115 triliun.

Makelar kasus yang melibatkan Gayus, karyawan golongan III A di Ditjen Pajak yang menangani kasus keberatan pajak yang diajukan lebih dari seratus perusahaan semakin menambah kekecewaan para pembayar pajak. Yang terbayang di benak mereka, golongan III A saja mampu melakukan korupsi Rp 28 miliar, bagaimana dengan pejabat-pejabat yang ada di atasnya? Maka sebenarnya hal yang wajar ketika muncul fenomena boikot pajak karena bisa jadi para pembayar pajak menyadari bahwa ternyata pajak hanya sebagai alat eksploitasi untuk kepentingan para kapitalis dan birokrat.

Dalam sistem ekonomi Islam, penerimaan negara tidak boleh bertumpu pada pajak. Menurut Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Sistem Keuangan Negara dalam Sistem Islam, sumber pendapatan negara bertumpu pada pengelolaan negara atas kepemilikan umum seperti sumber daya alam di antaranya kekayaan hutan, minyak, gas, dan barang-barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pada pemilikan umum ini, hanya negara yang b erperan sebagai pengelola. Dengan demikian, syariat Islam melarang pemberian hak khusus kepada orang atau kelompok orang (swasta), apalagi swasta asing. Sayangnya, yang justru terjadi adalah banyak kekayaan alam (hasil hutan, minyak bumi, barang tambang, dan lain-lain)–yang sejatinya milik rakyat–diserahkan begitu saja kepada swasta bahkan swasta asing, atas nama swastanisasi dan privatisasi. Jutaan ton emas dan tembaga di bumi Papua, misalnya, diserahkan kepada PT Freeport, sedangkan miliaran barel minyak di Blok Cepu diserahkan kepada Exxon Mobil. Kontrak blok gas tangguh yang berpotensi merugikan negara Rp 750 triliun (25 tahun) diberikan ke Cina.

Oleh karena itu, yang kita butuhkan saat ini bukan pemimpin yang terus-menerus memoroti rakyat dengan pajak melalui iklan yang menyesatkan, tetapi yang kita butuhkan adalah pemimpin yang mampu mengembalikan kekayaan alam atau sumber daya alam milik rakyat (saat ini hampir 90 persen sumber daya alam kita dikuasai asing) dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tentu hal ini akan terealisasi kalau kita kita bebas dari cengkeraman neoliberal dan menggantinya dengan sistem ekonomi yang manusiawi, yaitu sistem ekonomi berbasis syariah.***
(sumber: Pikiran Rakyat , selasa 13 April 2010 bisa diakses melalui http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=136386)

Penulis, Koordinator Mata Kuliah Ekonomi Syariah- Fakultas Pendidikan Ekonomi & Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia dan kandidat Doktor Bidang Ilmu Ekonomi Unpad.

Read More......