Pengikut

Kiat Menulis Dakwah Populer

Oleh: Dr. Ing. H. Fahmi Amhar
(Ahli Peneliti Muda Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional; Dosen Paskasarjana IPB dan Universitas Paramadina Jakarta)


Naskah dakwah (Islam) sering sulit di pahami oleh awam. Kesannya kering, njelimet dan acapkali tidak menarik. Sekilas, tempatnya yang layak hanya jurnal dakwah atau diktat kuliah. Kalau mau dipublikasikan secara umum, maka perlu polesan tertentu agar mudah dipahami.
Tapi sering terjadi, sesuatu yang bermanfaat dan perlu diketahui masyarakat, terbelenggu oleh format dan wadah yang terbatas, sehingga hanya bisa diakses kalangan terbatas pula. Mestinya, hasil-hasil kajian bisa ditulis ulang dalam gaya pop tanpa mengurangi bobot dakwahnya. Ibarat musik klasik atau lagu seriosa yang umumnya hanya konsumsi kalangan terbatas perlu diubah ala pop agar bisa dinukmati kalangan awam.
Cara demikian sudah dilakukan beberapa media. Rubrik “hikmah” yang ada di Koran Rebublika misalnya, disusun dan diterbitkan setelah “digubah”. Begitu disajikan secara pop, maka bagian-bagian tertentu dari risalah dakwah, tiba-tiba menjadi menarik.

Obyektif dan Tuntas
Sebelumnya pelu kita lihat dulu bahan dasarnya: dakwah atau tidak? Sejauh tentang Islam, ya harus. Namun kajian Islam disini tidak harus melulu orisinal atau ijtihad baru. Bisa saja tulisan itu berupa aplikasi, seperti misalnya tentang muamalah syariah pada sebuah BMT. Ijtihad sampai ditemukannya model BMT itu tentu sudah ditulis oleh para penggagasnya. Namun gaya penulisannya barang kali sulit dipahami awam, karena niat semula memenag tidak ditunjukan kepada umum, melaikan kalangan ulama dan pakar perbankan. Baru penulisan pop-lah yang berminat menyajikan kembali cara mekanisme perbankan syariah itu dalam tulisan yang popular. Sebab membaca sasaranya adalah orang awam atau orang yang tingkat pengetahuanya tidak setinggi para ulama.
Bisa juga tulisan dakwah pop itu berupa petunjuk tentang metode belajar membaca Al Quran yang jauh lebih cepat dibanding metode biasa. Walau ditulis secara pop, semua disajikan secara obyektif, mendalam dan tuntas. Tidak sinis, tidak pula menjual kecap nomor satu sesuai pesan sponsor.
Obyektif, mendalam, tuntas, itulah ciri utama bahwa tulisan itu disajikan secara dakwah bil hikmah, maksudnya bil hujjah (dengan bukti yang meyakinkan). Tulisan baru terasa bil hujjah kalau ia mengandung kebenaran obyektif. Obyektifitas di peroleh bila disetiap pernyataan didukung informasi yang teruji kebenaranya, (fakta yang nyata dan dalil yang kuat). Bukan berdasarkan pengamatan atau opini semata.
Data obyektif hanya dapat diperoleh dengan mengkaji sesuatu dengan metode aqliyah maupun ilmiah. Ada identifikasi masalah, ada pengumpulan data/fakta, penggalian dalil syar`ie, dan penulisan hasil yang logis alias ketemu nalar.
Proses penulisan dakwah pop juga melalui pegkajian dengan metode dakwah seperti itu, agar diperoleh materi tulisan yang dakwah dalam arti obyektip, mendalam dan tumntas.
Kedalaman materi baru terasa bila mampu dijelaskan “mengapa” (sampai begitu), dan ketuntasan terasa bila soal “bagaimana” (duduk perkara dan hubungannya dengan perkara lain) terjawab. Jawaban-jawaban itu harus ketemu nalar bukan asal-asalan.

Pemikiran Nyambung
Bagai mana cara menyajikan tulisan yang obyektif, mendalam dan tuntas itu secara popular? Tentu menggunakan bahasa popular.
Bahasa popular ya bahasa Indonesia juga, tapi yang komunikatif (boleh juga bahasa “gaul”). Mudah menghubungkan gagasan penulis dengan pembaca awam. Tuturan sengaja dibuat agar mudah dimengerti, syukur-syukur dengan hati riang. Bukan bahasa Indonesia para ulam yang literaturnya kita sadap esensinya. Juga berbeda dengan bahasa para politikus yang penuh basa basi dan retorika. Bahasa komunikatif selalu memakai ungkapan dan istilah yang dikenal umum dan berlaku dikalangan awam. Bukan istilah asing yang sulit dibaca, atau ungkapan canggih tapi agak kurang dimengerti, bahkan terkadang oleh penulisnya sendiri.
Pendek kata, bahasa jenis ini bebas kata pemanis dan basa-basi. Cepat ditangkap maksudnya, hemat kata tapi penuh makna. Jangan biarkan sebuah kalimat terlalu banyak kata. Jangan pula menjejalkan terlalu banyak kalimat dalam satu paragraph.. Hindari istilah sulit dan tak umum, agar pembaca tidak jengkel karena kecapaian buka kamus. Sadarlah bahwa pengulangan itu boros. Jangan pula meninggalkan pertanyaan yang tak terjawab, karena pembaca bukan teman main tebak-tebakan.
Tulisan juga bisa dipopulerkan dengan contoh yang diselipi humor. Humor adalah alat untuk mengingatkan pembaca pada sesuatu yang sudah ia ketahui. Ketika ia sadar bahwa ia sudah tahu itulah, pembaca ingin ketawa. Dan ia senang membaca lebih lanjut.
Tapi contoh berisi humor itu hanya perlu sekali-sekali saja. Tidak lazim menebari tulisan dakwah popular dengan humor disana-sini. Popular tidaknya sebuah tulisan bukan karena ia penuh humor (ini sih cerita jenaka), tapi ditentukan oleh bahasa yang dipakai.

Sesuai Sasaran
Tulisan dakwah popular tidak akan terbaca oleh sasaran komunikasi yang salah. Masyarakat pembaca media massa dapat dikelompokan menjadi empat kelompok utama: anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Tiap kelompok menyukai bentuk sajian tersendiri.
Anak-anak (yang baru belajar membaca menggemari cerita sejarah atau dongeng dengan pesan nilai-nilai moral), jelas kurang tertarik pada tulisan keilmuan, kecuali barangkali disajikan juga sebagai sebuah dongeng. Para remaja kadang lebih senang cerita petualangan, kepahlawanan, tokoh idola atau malah fiksi cinta remaja. Karena gaya bahasa dakwah untuk mereka harus lebih “gaul” lagi. Contoh yang sudah mampu menyapa remaja seperti ini adalah bulletin “Studia” dan majalah “Permata” yang keduanya terbit di Bogor.
Kaum dewasa dan golongan tua biasanya haus tulisan dakwah bil hujjah. Kalau kaum muda masih bisa membaca cerita yang menimbulkan rasa ingin tahu, dan tulisan non fiksi tentang Islam yang merangsang pemikiran, maka golongan tua lebih suka membaca tulisan yang berfalsafah, uraian teknis yang mendalam, disertai argumentasi. Karena itu, untuk sasaran dari kedua kelompok pembaca ini, maka segala kiat, daya upaya dan trik-trik untuk menyusun tulisan harus diarahkan kepada mereka.

Layak Tulis
Sebelum menulis, perhatikan dulu kemenarikan bahan atau materi. Tulisan tak akan menarik kalau materinya tidak menarik, meski dibuat sangat nge-pop sekalipun. Materi penulisan biasanya muncul dari informasi awal. Info ini hanya berupa poin-poin yang masih perlu diolah. Tapi ia menentukan baik buruknya tulisan. Karena itu harus di Tanya: “apakah materi info itu layak ditulis?”. Sebab tak mungkin suatu bahan yang tak layak dimuat bisa disulapdi tulisan menarik. Kalau materi itu tidak layak, ya sudah lupakan saja.
Setelah uji kelayakan oke, maka ada “uji petik” seperti berikut ini:
1. Apahkah yang ditulis itu actual
2. kalau tidak, apakah terkenal atau lagi “in” (lagi dibicarakan banyak orang)?
3. Kalau tidak juga apakah aneh?
4. Atau mungkin istimewa atau luar biasa?
5. Atau bisa juga controversial, memunculkan polemik atau mencerminkan suatu konflik.
Kalau semua tidak, ya lupakan saja. Percuma, tulisan yang tidak ini dan tidak itu, tidak akan dibaca oleh siapapun, bahkan mungkin penulisnya sendiripun enggan membacanya kembali.
Walaupun beberapa criteria terpenuhi, masih perlu dikaji ulang, yaitu manfaatnya. Apakah ia menambah pengetahuan? Memotivasi untuk melakukan sesuatu yang lebih baik? Menambah keterampilan orang? Atau memberi harapan positif untuk memperbaiki keadaan.
Dalam persaingan yang makin ketat sekarang ini, media cetak yang menyajikan tulisan yang bermanfaat akan lebih diperhaikan orang untuk dibeli, dari pada media yang “begitu-begitu saja”, tidak menambah pengetahuan, tidak memberi harapan, tidak memecahkan masalah, dsb.

Awali Dengan Poin Menarik
Tulisan tidak akan dibaca orang kalau dimulai dengan hal-hal umum yang hambar. Harusnya mulai dengan sesuatu yang khas, istimewa, luarbiasa, agak “provokatif” atau lain dari yang lain.
Sesudah ketemu “anu”-nya (yang menarik itu), maka hal itu dijadikan pembuka tulisan, jadi eyecatcher (penangkap minat) pada lead (pendahuluan). Kalau sudah tertarik, pembaca akan membaca terus ketubuh tulisan.
Kalau bisa poin yang paling menarik itu diekspose besar-besaran dan diceritakan sampai tuntas. Tapi ini tak lalu membuatnya berpanjang-panjang. Usahakan singkat, padat, “bergizi” dan lengkap. Sedang poin lain yang hanya sebagi pendukung tak usah panjang lebar, toh kurang menarik.
Poin-poin ini kita daftar dan kita susun dalam outline (kerangka tulisan). Yang paling menarik ditaruh di atas. Sifat outline ini masih sementara, harus dikembangkan dengan berbagai info pendukung yang relevan, yang di peras dari literature, kliping Koran/majalah atau bisa juga jurnal dakwah. Bisa pula dari pengecekan ke pakar atau praktisi. Karena itu boleh-boleh saja outline berubah di tengah jalan. Sesudah semua itu dilakukan, naskah mulai ditulis berdasarkan outline yang paling meyakinkan. Dalam praktik, pekerjaan itu bisa dilakukan secara simultan atau silih berganti.

Feuture Pengetahuan
Tulisan dakwah popular bisa disajikan dalam bentuk feature pengetahuan atau opini. Tapi juga bukan feature biasa (news atau human story). Feature bisa berisi fakta, situasi dan proses, disertai sedikit opini atau pandangan subyektif penulis.
Feuture pengetahuan lebih memfokuskan pada penjelasan fakta, situasi atau proses secara mendalam, tanpa opini subyektif sama sekali. Kalaupun terpaksa mengutip pendapat seorang ahli, pendapat subyektifnya dikonfirmasikan pendapat ahli lain pada bidang ilmu yang sama, secara obyektif. Penulis tidak berpihak kepada salah satu. Netral.

Nada Bersahabat
Sesudah naskah kasar tersusun, dengan judul yang mencerminkan tema, lead yang menarik minat baca, jembatan yang memberi penjelasan selintas apa yang akan diceritakan dalam tubuh tulisan, disusul tubuh tulisan yang disusun secara dinamis (mengalir dari satu topik ke lainnya), dan penutup yang bernada pamit, naskah masih harus diserut, diedit atau disunting. Penyuntingan terdiri dari 3 tahap:
1. Menyunting Substansi, dengan mengecek kebenaran informasi, akurasi data, ketepatan istilah (terutama istilah sy’r) dengan buku rujukan, ensiklopedi atau kamus.
2. Menyunting Redaksi, dengan memperlancar gaya penuturan, membuang kata-kata yang berlebihan, juga mengefektifkan kalimat. Hasilnya harus terasa lincah dan segar. Ungkapan ruwet, kabur dan berkalimat panjang menjadi lurus, jelas dan pendek, agar cepat ditangkap maknanya. Nada yang kurang enak (seperti menyindir, sok, sinis, menggurui, menggerutu, marah) dihapus atau diubah agar menjadi bersahabat. Juga ikuti kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar secara konsisten, agar tidak dicemooh sebagai bahasa preman atau Koran yang rusak.
3. Menyunting Format, agar pas dengan ruang yang disediakan, serta mengikuti standar huruf dan desain lay-out yang ditentukan. Untuk bisa dimuat ke kolom opini di surat kabar, tulisan dibatasi maksimum 8000 character, atau sekitar 4 halaman spasi ganda.

Comments :

0 komentar to “Kiat Menulis Dakwah Populer”

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya