Pengikut

Menepis Kontroversi Eksistensi Lesbi

Oleh Mia Endriza Yunita, SP

( dimuat di Banjarmasin Post 8 Maret 2008 )

Menguak akan eksistensi lesbi bukan lagi menjadi sebuah wacana. Lesbi telah menjadi fenomena aktual yang seharusnya tidak lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Sinisme selalu mengiringi pembicaraan mengenai lesbi dan semoga anda tidak memandang sebelah mata akan tulisan saya ini.

Saya memandang lesbi tak lebih dari penyimpangan seksual berdasarkan trauma psikologis dan fisik yang diterima oleh perempuan dari aniaya lawan jenisnya. Bisa jadi berawal dari tragedi patah hati atau kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan perlakuan tidak senonoh dan tidak menghormati fitrahnya sebagai perempuan. Akhirnya perempuan merasa lebih aman dan nyaman bila hidup bersama sesama jenisnya, bersama hingga ke ranah seksual. Namun, bisa jadi oleh karena faktor ikut-ikutan saja akibat salah pergaulan. Namun, hal ini memang tidak lepas dari imbas globalisasi yang menebar liberalisme dalam kehidupan.
Bila Menuntut Keadilan

Perempuan pun memiliki insting akan pembelaan diri agar eksistensinya dihargai dan dihormati. Demikian pula para lesbi yang notabene adalah perempuan. Mereka pun ingin dihargai eksistensi mereka sebagai makhluk yang wajar, karena eksistensi lesbi selama ini menurut norma sosial dan agama adalah hal yang tabu.

Namun, setidaknya kita yang normal ini pun mau membukakan pintu hati kita untuk mendengarkan bahkan alhamdulillah kalau bisa menyembuhkan para perempuan yang menjadi lesbi ini. Yang harus kita pahami adalah bahwa para perempuan lesbi ini adalah insan-insan yang hakikinya terluka dan mendapatkan obat yang salah. Lalu, mengapa kita justru merasa jijik dan enggan berbincang dengan mereka ? Lontarkan saja bahwa kita ingin mereka menjadi perempuan sesungguhnya bukan menjadi perempuan yang mencintai (secara seksual) sesama jenisnya.

Cegah Sebelum Terlambat

Kini gerakan lesbi (lesbian movement) tengah menjajaki geraknya di masyarakat luas. Salah satunya adalah Institut Pelangi Perempuan, gerakan lesbi Indonesia yang bersifat nirlaba non-pemerintahan. Salah satu visinya adalah memperjuangkan hak seksualitas minoritas lesbian menuju tatanan masyarakat demokratis yang tidak diskriminatif terhadap preferensi seksual yang berbeda Mereka berjuang agar eksistensi mereka dianggap wajar dan tidak menuai sinisme masyarakat.

Apakah pemerintah dan pihak-pihak agamawan telah mencium hal ini ? Saya tidak ingin ada tindak kekerasan dalam mengobati para perempuan lesbi ini. Para perempuan ini justru memerlukan terapi penyembuhan yang tepat, mulai dari terapi psikologi berbasis religi untuk memperbaiki dan memperkokoh keimanan, lalu konseling rutin dan pengadaan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Apakah pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan beserta para derivatnya yang konon pro setara gender telah memiliki solusi untuk penyembuhan para perempuan lesbi ini ?

Saya pribadi yang tidak setuju dengan konsep setara gender justru menyayangkan bila pihak pemerintah terkait malah melupakan dilema lesbi ini. Karena sama saja artinya mereka telah mendiamkan bibit-bibit bencana besar dan membuat nasib para perempuan lesbi ini terkatung-katung dalam kelesbiannya. Na’udzubillah min dzalik.

Kita kini sudah didera berbagai bencana, mulai bencana kemiskinan hingga bencana alam. Semoga saja jangan sampai hujan batu kemudian mendera dunia. Toh, kaum Nabi Luth yang homoseksual justru mengalami kematian tragis dari deraian hujan batu yang menimpa. Apakah kita sebagai pengikut Rasullah Saw. akan menuai bencana yang lebih dari hujan batu gara-gara mewajarkan bahkan mendiamkan saja para perempuan yang tengah menjadi lesbi tanpa ada upaya untuk menyembuhkan mereka ? Wallahu’alam bish shawab. Sumber :www.alpenprosa.wordpress.com/



Comments :

0 komentar to “Menepis Kontroversi Eksistensi Lesbi”

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya