Pengikut

Menulis itu Candu

Oleh Mia Endriza Yunita, SP (AlPen Prosa Kalsel)

Aku tak bisa membayangkan bila satu hari saja dari hari-hariku tak kuisi dengan menulis. Kepalaku pusing, tanganku gemetaran, seluruh inderaku bahkan menagih agar aku segera menumpahkan apa yang telah mereka lihat, dengar, hirup, raba, kecap, sentuh di atas kertas. Begitu semuanya telah tertumpahkan. Subhanallah, semuanya terasa begitu indah. Saat orang-orang mengeluh dan bingung mau menulis apa, aku malah kecanduan menulis. Saat orang-orang bingung mau menulis dari mana, aku malah dengan ringannya mengetikkan jari jemariku di atas notebook dan melahirkan 1, 2, 3 sampai sekian banyak tulisan. Saat orang-orang ramai bergosip ria akan hal-hal yang tak bermutu, aku asyik masyuk merangkai butiran kata menjadi untaian-untaian kalimat penuh makna.



Aku arogan ? Aku seakan mengejek saat tahu bahwa banyak orang sulit menulis ? Mungkin ya, mungkin tidak. Agak bingung saja, benarkah menulis itu sulit ? Menulis dalam artian membuat sebuah tulisan entah artikel, cerpen, surat atau curahan hati. Semua penulis tak ada yang mengakui bahwa 99 % adalah bakat dan 1 % adalah kerja keras. Termasuk aku. Terbukti, dengan proses pembelajaran menulisku yang otodidak, sharing dengan para penulis dan ikut workshop plus kalkulasi tulisan-tulisanku yang masuk recycle bin redaktur, itu semua menjadikan 99 % adalah kerja keras dan 1 % alhamdulillah adalah bakat plus pertolongan Illahi.

Aku arogan ? Bila jari jemariku saat ini seringan kapas mengetikkan kata demi kata di atas notebook, itu semua tak luput dari latihan. Latihan, teman ! Sekali lagi, latihan ! Selain latihan menulis ? Tentu saja aku membaca. Membaca pun identik bagaikan candu bagiku. Rasanya aneh bila satu hari saja tidak membaca. Setiap hari aku membaca tulisan opini pada harian terkenal ibukota dan harian lokal, bahkan tidak browsing selama tiga hari saja rasanya badan ini aneh. Membacalah, karena untuk menulis kita perlu pengetahuan dan perbendaharaan kosa kata yang melimpah. Sekaligus melihat-lihat gaya tulisan orang lain. Dari acara lihat-lihat itu pasti banyak manfaatnya. Dijamin !

Aku tak peduli apakah karya-karyaku dihujat, dibenci, dihina bahkan dicaci maki oleh pembaca. Aku selalu openminded kok untuk kritik dan saran untuk seluruh karya-karyaku karena aku memiliki idealisme yaitu berkarya yang ’enak cerna’ walaupun nyelekit tapi mengena. Aku pun memiliki brand image dalam tiap tulisanku. Dan aku berusaha untuk istiqamah dengan brand image tersebut. Brand image ku adalah melakukan pencerahan pemikiran bagi pembaca, menampilkan opini yang solutif demi perubahan yang positif dan mendobrak kebekuan media massa. Tak heran, kadang aku menjuluki diriku sebagai martir media (nggak sombong kan ?)

Kadang aku tertawa sendiri, saat terpikir bisa jadi para redaktur opini media massa yang sering kubombardir dengan email-emailku yang berisi opini merasa bosan saat menerimanya dan mereka mengucapkan 4 L : Lu Lagi, Lu Lagi. Tapi, mau bagaimana lagi ? Masa karya-karyaku hanya tersimpan dalam folder-folder bisu ? Kalau para redaktur opini tersebut tidak memuat tulisanku, akhirnya blog-site ku pun jadi sasaran. Mejeng deh karyaku di alam maya. Hehehe….

Suatu hari, seorang temanku menyarangkan pandangan aneh kepadaku. Lho..ada apa ? Perasaan aku nggak ada hutang sama dia. Mukulin dia pun aku nggak pernah. Ada apa ya ? Pandangan aneh itu lalu berubah wujud menjadi perbincangan hangat.

”Ukh, nggak nulis lagi ? Kok nggak pernah kelihatan lagi tulisannya ?”

”Nulis mah tetep. Tapi nggak dimuat,” sahutku pendek. Mungkin redakturnya bosan dengan si pengirim tulisan yang Lu Lagi Lu Lagi lanjutku dalam hati.

Hehehe…jangan pernah su’udzon kepada redaktur opini. Aku pun introspeksi diri. Mungkin ini saatnya berbagi ’kepintaran’, berbagi ilmu kepada sesama bahwa kepintaran menulis bukan hanya milik saya tapi juga milik mereka, milik teman-teman saya, milik semua orang. Bukankah setiap orang berhak menjadi martir media ? Demi perubahan, demi kebenaran ! Dan aku pun harus bersiap untuk menjadi martir media pada media yang lebih tinggi lagi yaitu media nasional. Ini bukan sombong, tapi cita-cita.

Ada yang keberatan ? Sumber : http://alpenprosa.wordpress.com




Comments :

0 komentar to “Menulis itu Candu”

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya